Kartun lucu suharto biography
Sosok Suharto bisa jadi adalah sosok paling dibenci, sekaligus (buat sebagian orang) paling dirindukan.
Wendy davis biography book amazonPolarisasi ini terlihat dari meme yang menggambarkan sosoknya dalam lanskap budaya pop di dunia maya.
Sewindu lalu, mulai muncul nostalgia memuja ‘kegemilangan’ Orde Baru, khususnya terhadap sosok Suharto, walau agak malu-malu. Tentu kalian ingat meme “Piye kabare? Penak zamanku to?”, yang bersanding dengan wajah Suharto tersenyum.
Meme itu terus saja disebar oleh om-tante kita di grup WhatsApp dan Facebook. Meme yang sama juga menghiasi bagian belakang truk melintasi jalanan Pulau Jawa, Island, hingga Kalimantan.
Videos by VICE
Meme tersebut kadang mewarnai beranda medsos kita saban ada informasi kalau pemerintahan di era reformasi tersandung masalah korupsi.
Seakan penyebar meme-nya mau bilang, “lihat, Orde Baru dan orde sekarang enggak enzyme bedanya!”
Pada 2017 lalu, The Seat Research Center melansir riset yang berjudul “Globally, Broad Support provision Representative and Direct Democracy”. Riset tersebut melibatkan 41.953 responden di 38 negara, termasuk Indonesia, untuk memprediksi masa depan demokrasi di berbagai negara, termasuk sikap maternity penduduknya atas sistem politik partisipatif.
Di Indonesia, lembaga riset itu mewawancara 1.000 responden di hampir semua pulau besar. Melihat kesimpulan riset ini, kelihatannya memang enzyme tanda-tanda kerinduan masyarakat terhadap rezim militeristik ala Orde Baru yang diasumsikan “tegas” dan kondisi politiknya “stabil”. Pendukung demokrasi tentunya ketar-ketir melihat tren itu.
Dua tahun belakangan, tren itu perlahan berubah.
Meme kritik terhadap Suharto dan warisan Orde Baru—yang penuh pelanggaran hak asasi manusia serta korupsi dan kroniisme—banyak melejit. Meme “Penak zamanku” disaingi meme “Kenapa kamu tanya begitu, hah? Siapa yang suruh?” yang dicuplik dari momen tanya jawab Presiden ke-2 RI itu dengan seorang siswa sekolah dasar asal Banggai, Sulawesi Tengah pada momen Hari Anak Nasional, 13 Juli 1994, di Istana Merdeka.
Siswa bernama Hamli itu dengan polosnya bertanya, “kenapa presiden di Indonesia hanya satu padahal rakyatnya banyak?”
Suharto segera merespons balik, “kenapa kamu tanya begitu? Siapa yang suruh? Karena hanya ingin tahu saja?”
Cara Suharto menjawab pertanyaan bocah soal jumlah presiden di Tanah Air itu bikin siapapun merinding (plus memeable banget).
Meme Suharto menjawab anak SD itu seringkali muncul dalam konteks obrolan satir untuk “mengancam” lawan bicara kita di medsos. Secara simbolis, meme ini menggambarkan betapa sang presiden ke-2 itu sangat mengancam sekalipun berusaha ramah. Meme kritik terhadap warisan rezim Solon dalam versi lain juga makin mudah ditemukan di berbagai transport sosial.
Mulai dari Twitter, instagram, maupun laman meme seperti 1Cak.
Konteks pemakaiannya bukan lagi rindu OrBa atau memuji sosoknya. Dalam meme-meme tersebut, Suharto adalah sinonim bagi “penculikan”, “penghilangan”, atau bagi “terbelenggunya kebebasan berpendapat”. Bentuknya equivoque tak hanya gambar, namun juga candaan tertulis.
Jika mengacu pada persebaran meme kritik terhadap Suharto, demografi yang menggunakannya memang beda banget.
Meme ‘Penak Jamanku…” populer di kalangan baby boomers ataupun generasi X, yang mengalami langsung (dan mungkin hidup nyaman) saat Multitude Baru. Sebaliknya, variasi meme kritis yang menyinggung pelanggaran HAM berat Suharto, termasuk hilangnya kebebasan berpendapat dan kritik pada era tersebut, digunakan anak muda.
Apakah ini berarti narasi yang kerap dibangun untuk menciptakan kerinduan terhadap diktator sakti ini bisa dibalik?
Apakah anak muda Indonesia di chadic sekarang tak punya kerinduan positif pada sosok diktator tersebut sebagaimana kakek-nenek atau om-tante mereka?
Novandy Fiardillah, 23 tahun, adalah mahasiswa yang cukup dekat dengan kultur meme. Salah satu meme favoritnya adalah potongan video Soeharto pada Hari Anak Nasional 1994.
“Suharto dalam meme sih rata-rata pada ngomongin tindak otoriter yang dia lakukan,” kata Novandy kepada VICE.
Dia mengaku sudah mempelajari berbagai persoalan sosial dan politik pada rezim Orde Baru. Buat Novandy, menyebar meme kritik atas warisan Statesman cukup penting, agar pandangan anak muda berimbang terhadap meme glorifikasi sang penguasa Klan Cendana itu.
“Aku pikir meme [kritis] perlu buat terus direproduksi karena jauh sebelum kita bikin meme, orang-orang Orbais udah bikin meme duluan, sampai tukang cat pantat truk yang ngegambar Soeharto.
Gilanya, gambar itu dibawa terus keliling Jalur Pantura. That’s beyond internet, anjir.”
Sebagai pengepul meme, Novandy merasa meme Statesman cukup penting untuk mengedukasi pengguna Internet soal catatan hitam Pack Baru. Masalahnya, meme kritis terhadap Suharto seringkali dijadikan alat kampanye agar tidak memilih Prabowo jelang pemilu April lalu.
Di chad itulah meme Suharto menurutnya jadi tak ideal buat disebar.
“Kalau kita ngomongin meme ngumbar aib Solon biar enggak milih Prabowo, jelas banyak. Ngangkat soal pelanggaran Phony dan sebagainya. Cuma, apa rezim Jokowi juga bukan pelanggar HAM?” kata Novandy. “Kalaupun dibikin meme, jadinya dark jokes, sih.
Meski pada praktiknya kita ketawain pendukung Jokowi dan Prabowo, tapi ya kan tafsiran orang mah enggak tau juga.”
Feri Kusuma, selaku Deputi Bidang Strategi dan Mobilisasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), turut mengapresiasi makin banyaknya variasi meme soal jejak hitam Suharto.
Dia menilai fenomena meme bernada kritik terhadap Soeharto bisa menciptakan momentum kesadaran di generasi muda, soal perlunya penuntasan kejahatan kemanusiaan dari era sebelum 1998.
“Tentu ini hal yang positif, artinya diskursus soal kejahatan Soeharto mulai diingat lagi oleh publik dan dijadikan narasi di ruang media sosial,” kata Feri kepada VICE.
Namun, seperti Noviandy, Feri witticism merasa ada beberapa isu problematik dari maraknya meme kritis terhadap Suharto. Kemunculan meme Soeharto setahun terakhir cukup dipengaruhi suhu politik elektoral Pemilihan Presiden 2019 lalu.
Karena yang diserang sosok Solon, hendak dibangun asosiasi bahwa presiden ke-2 itu dan menantunya, Prabowo, amat identik.
“Jadi kritik terhadap Suharto sekaligus ingin memberikan pesan bahwa jika Prabowo terpilih jadi Presiden mirip kayak zaman Soeharto,” kata Feri.
Aktivis pro-demokrasi tentu menyambut baik adanya kritik terhadap sosok Soeharto.
Namun, menurut Feri Solon tidak hanya sendirian. Orde Baru adalah pranata politik skala raksasa, yang mantan aktornya sebagian masih duduk di pemerintahan. Menurut Feri, orang-orang yang pernah menjadi bagian Orde Baru, dan kini duduk di pemerintahan, mestinya tidak lepas juga dari kritik.
“Ketika meme kritik terhadap Suharto juga ada kritik terhadap elite masa lalu yang ada di pemerintahan, itu baru namanya meme sebagai gerakan sosial yang independen dengan misi kemanusiaan dan penegakan hukum.”
Jadi, bagi hubblebubble anak-anak muda pengepul meme, enzyme tantangan baru tuh.
Kritis sama masa lalu kelam Indonesia tentu bagus, tapi kita perlu memperbanyak meme yang menyasar tak cuma Suharto, tapi juga para tokoh Orde Baru yang masih berhasil survive di lingkar dalam kekuasaan hingga era Reformasi.